Penulis: Sugimin
SRAGEN | inspirasiline.com
GURU SMK Muhammadiyah 2 Sragen, C Marcino menilai, kekerasan seksual akan menyisakan dampak psikologis bagi anak yang menjadi korbannya.
Penilaian tersebut disampaikan Marcino kepada inspirasiline.com di kediamannya di Desa Mojokerto, Kecamatan Kedawung, Kabupaten Sragen, Sabtu (6/3/2021).
Marcino menyatakan miris dengan berita di media sosial (medsos) tentang kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur yang dilakukan oleh orang dewasa.
“Pelaku harus dijatuhi hukuman seberat-beratnya. Coba kalau hal itu terjadi pada keluarga kita, apa tidak stres!” ujarnya berapi-api.
Ketua Aliansi Peduli Perempuan Sukowati (APPS) Sugiarsi yang dihubungi inspirasiline.com melalui ponselnya mengatakan, sepanjang 16 tahun terakhir ini sudah mendampingi sekitar 692 korban kekerasan seksual anak maupun perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
Rata-rata korban kekerasan seksual mengalami depresi berat hingga nekat ingin bunuh diri.
“Kalau korban perkosaan murni mau bunuh diri, karena merasa hidupnya sudah tidak berguna. Merasa kehormatannya sebagai perempuan sudah rusak. Seorang anak korban trafficking yang pernah saya dampingi, berusaha bunuh diri dengan cara membenturkan kepala ke tembok. Untung aksi itu kepergok saya,” ujar Sugiarsi.
Kehilangan semangat hidup merupakan dampak yang terlihat paling nyata. Beberapa anak korban kekerasan seksual memilih tidak melanjutkan pendidikannya. Apalagi korban kekerasan seksual itu membuat hamil di luar nikah.
Korban kekerasan seksual yang hamil biasanya didampingi APPS, hingga melahirkan. Bayi yang baru lahir biasanya diasuh oleh neneknya atau diadopsi pasangan yang sudah lebih 15 tahun menikah tapi belum dikarunia keturunan melalui Dinas Sosial.
“Setelah melahirkan, mereka biasa memilih tidak melanjutkan sekolah. Dia akan ikut memilih orangtuanya dulu sambil kursus. Setelah usia dewasa, dia baru bekerja. Ada pula yang masih semangat sekolah. Biasanya saya pastikan dulu supaya lingkungan sekolah tidak melakukan diskriminasi,” beber Sugiarsi.
Sugiarsi mengakui, pendampingan sangat besar manfaatnya bagi anak korban kekerasan seksual. Pasalnya, tidak semua anak korban kekerasan seksual mau diterima kembali oleh orangtuanya. Masih ada orangtua yang menganggap hal itu sebagai aib, sehingga memilih menitipkan anak itu di panti asuhan.
Pendampingan dan terapi secara terus-menerus diharapkan bisa membangkitkan semangat hidup dari anak korban kekerasan seksual itu.
“Yang sudah kita dampingi kadang masih sering berhalusinasi. Pernah ada anak yang saya dampingi tiba-tiba membuat minuman dalam jumlah banyak. Dikiranya ada banyak tamu datang, padahal tidak ada,” kenang Sugiarsi.
Dampak lain dari anak yang jadi korban kekerasan seksual adalah trauma bila bertemu sosok laki-laki. Bahkan trauma itu biasa berlangsung selama bertahun-tahun.
Salah satu anak korban kekerasan seksual butuh waktu minimal selama 4 tahun untuk mau membuka diri akan hadirnya sosok laki-laki.
“Setelah 4 tahun, dia baru mau menjalin hubungan dengan laki-laki. Sekarang keduanya sudah menikah. Si laki-laki mau menerima perempuan itu apa adanya,” ujar Sugiarsi.***