Disesalkan, Apabila MUI Jadi Alat Politik

NEWS

Semarang-Inspirasiline.com. Pada masa tenang Pilkada 2024 ini, tiba-tiba publik terutama di Kota Semarang dihebohkan dengan beredarnya postingan di media sosial yang disinya surat dari Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Tengah. Salah satu isinya adalah mengharamkan memilih pemimpin yang tidak seakidah.

Politisi PDI Perjuangan Supriyadi menyesalkan adanya dugaan politisasi oleh MUI Jateng tersebut. Menurutnya, hal tersebut akan mengakibatkan adanya fitnah dan ketidak kondusifan suasana Pilkada di Semarang.

“Kok tiba-tiba surat itu muncul di saat masa tenang. Isinya jelas sangat tendensius karena muncul sekarang di saat Pilwalkot atau Pilkada tinggal tiga hari lagi. Ini tidak baik untuk demokrasi di negara kita,” ujar Supriyadi.

Seharusnya, menurut mantan Ketua DPRD Kota Semarang ini, seruan yang ditandatangani ketua Komisi Fatwa MUI Jawa Tengah itu muncul tidak di masa pilkada. Selain itu seharusnya MUI seharusnya netral dan tidak berpolitik.

Pengamat Politik UIN Walisongo Semarang, Dr M Kholidul Adib menilai isu agama memang mewarnai dinamika Pemilihan Wali Kota Semarang. Penyebabnya karena memang perbedaan agama dari dua calon Wali Kota. Menurutnya, hak pemilih untuk melihat keyakinan agama calon yang didukung, namun hal itu tidak baik untuk perkembangan demokrasi.

Adip menjelaskan survei Y-Publica pimpinan Rudi Hartono menunjukkan bahwa sebenarnya isu agama tidak terlalu dominan dalam Pilwalkot Semarang 2024. Dalam hasil survei yang dirilis 16 September 2024 itu sebanyak 59 persen responden menyatakan tidak mempersoalkan agama kandidat, sedangkan 41 persen masih memandang agama sebagai pertimbangan.

Menurutnya politisasi agama dalam demokrasi Indonesia memang banyak menuai kritik. MAdib juga mengimbau masyarakat agar lebih fokus pada isu populis seperti visi-misi, program kerja, rekam jejak, dan kepribadian kandidat.

“Memilih kandidat atas dasar kesamaan agama adalah hak warga negara, tetapi menjadikan agama sebagai faktor utama tentu tidak baik bagi pengembangan demokrasi,” tambah Kholidul Adib. (*)

Bagikan ke:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *