Ketua KTNA Sragen: Terkesan Dipaksakan, Kartu Tani Lebih Baik Dibatalkan!

NEWS

Penulis: Sugimin
SRAGEN | inspirasiline.com

KEBERADAAN pupuk bersubsidi masih menuai banyak keluhan di kalangan petani di Sragen.

Rumitnya penebusan lewat Kartu Tani dan mesin ESC di kios yang banyak rusak, serta kekosongan stok di penyalur mendominasi jeritan hati petani di banyak wilayah di Sragen.

Mayoritas petani dan kelompok pelaku pertanian memandang program Kartu Tani sama sekali tidak memudahkan para petani mendapatkan kuota pupuk bersubsidi, namun justru memperumit keadaan.

“Gimana petani mau sejahtera? Pupuk dikurangi, barangnya sulit. Percuma mau pakai kartu-kartunan segala wong pupuknya saja sulit dan kosong. Yang dibutuhkan petani itu hanya pupuknya gampang dan mudah dibeli. Mahal pun nggak apa-apa asal mudah. Lha ini sudah jatahnya sedikit, nebusnya rumit, barangnya belum ada,” ujar staf Kantor Kecamatan Plupuh, Tarmuji saat ditemui inspirasiline.com di sela-sela mempersiapkan monitoring dan evaluasi (monev) dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sragen pagi ini, Kamis (12/11/2020).

Tarmuji mengaku bisa merasakan kesulitan yang dialami petani dalam mendapatkan pupuk bersubsidi.

“Keluarga saya petani, saya sendiri juga garap sawah. Jadi saya mengetahui problem petani,” ungkapnya saat ngopi di warung samping Kantor Kecamatan Plupuh.

Terkesan Dipaksakan
Senada, Ketua Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) Sragen Suratno menyampaikan bahwa program Kartu Tani merupakan program yang terkesan dipaksakan.

Menurutnya, terlalu mempersulit jika Kartu Tani harus diberlakukan 2021. Padahal sejak digulirkan 2015 lalu, selalu menuai permasalahan yang tak kunjung selesai.

Selain itu, setiap musim pasti ada perubahan yang tidak diantisipasi oleh sistem. Dan masih banyak persoalan lainnya yang harus dihadapi, akibat terus berkurangnya kuota pupuk.

”Misal antrean ke BRI atau ke KPL, yang biasanya satu kecamatan antrean panjang butuh seharian. Itu ribetnya sistem Kartu Tani. Termasuk jika EDC belum siap dan sebagainya,” paparnya kepada wartawan, belum lama ini.

Suratno menilai, pemerintah kurang berpihak pada petani. Selain kuota pupuk bersubsidi yang terus dikurangi, program Kartu Tani juga makin memperparah keadaan.

Bahkan Suratno menyebut, negara tidak bisa berbuat apa-apa untuk peningkatan hasil produksi pertanian.

”Misalnya harus menggunakan pupuk nonsubsidi dengan harga yang tinggi, harusnya harga gabah juga tinggi,” keluhnya.

Melihat problem di sektor pertanian, Suratno meminta Pemerintah Kabupaten Sragen agar memastikan semua petani di Sragen sudah pegang Kartu Tani. Tidak hanya itu, Pemkab juga bisa memenuhi kekurangan pupuk untuk petani.

”Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 mengatur kewajiban pemerintah daerah untuk mencukupi kebutuhan petani, kewenangan daerah untuk menganggarkan melalui APBD,” tuturnya.

Suratno menegaskan, jika sistem Kartu Tani tak kunjung optimal, lebih baik program Kartu Tani dibatalkan saja.

”Petani kasih duit saja, biar buat beli pupuk sendiri-sendiri. Kalau tidak, Kartu Tani batalkan saja,” ujar Suratno, geram.

Tidak Langka
Sementara, Pelaksana Tugas (Plt) Bupati Sragen Dedy Endriyatno usai Rapat Koordinasi Penyaluran Pupuk Bersubsidi 2020 menegaskan, pupuk tidak langka dan pupuk tersedia.

Permasalahan banyak terjadi dalam pengelolaan pupuk bersubsidi. Mulai dari teknis, sistem, sampai koordinasi.

Dedy memaparkan fakta di lapangan, saat ini petani di Sragen yang menggunakan Kartu Tani baru 8 persen dari 128.000 petani yang terdata. Permasalahan yang muncul di lapangan banyak, mulai dari petani lupa PIN Kartu Tani, hilang, kedaluwarsa, dan sebagainya.

Selain itu, kendala jaringan internet di Kios Penyalur Lengkap (KPL) atau penyalur juga berbeda. Bahkan beberapa KPL juga belum tersedia mesin EDC.

”Pada Oktober kemarin, dari 366 KPL, ada 90 yang belum ada EDC. Sudah ditindaklanjuti BRI, tapi ada laporan beberapa mesin rusak,” ujarnya.

Permasalah sistem, seperti yang sudah ada di e-RDKK, ada uangnya tapi tidak ada kuotanya. Permasalahan semacam ini sudah berjalan lebih dari 3 tahun.

”Saya tidak terima dengan alasan masa transisi. Mau berapa lama lagi, pupuknya berkurang dan itu-itu saja yang jadi masalah,” tegasnya bernada tinggi.***

Bagikan ke:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *