Penulis: Sukamto | Editor: Dwi NR
WONOGIRI | inspirasiline.com
Bagi Mbah Tumidi, usia bukan masalah untuk terus berkarya. Kurang lebih tujuh puluh tahun, dia menempa besi, membuat dan memperbaiki alat-alat seperti cangkul, sabit, pisau, pukul, linggis, kapak, dan sebagainya.

MBAH Tumidi, warga Dusun Bangunharjo, Desa Gambiranom, Kecamatan Baturetno, Kabupaten Wonogiri. Saat ini berusia 85 tahun, berprofesi sebagai pande besi.
Dulu, Dusun Bangunharjo bernama Dusun Beling, tempat tinggal Mbah Tumidi dibesarkan. Tak heran jika Mbah Tumidi terkenal dengan panggilan “Pande Beling Mbah Tumidi”, mengacu nama dusun lama.

Bagi Mbah Tumidi, usia bukan masalah untuk terus berkarya. Kurang lebih tujuh puluh tahun, dia menempa besi, membuat dan memperbaiki alat-alat seperti cangkul, sabit, pisau, pukul, linggis, kapak, dan sebagainya.
Ilmu dan keterampilan yang dia miliki berasal dari keluarganya, secara turun-temurun.
Semula Mbah Tumidi membuka usahanya di Pasar (lama) Baturetno.

Sejak Pasar Baturetno dibangun, berlantai dua, dan berubah nama Pasar Bung Karno, dia bersama teman- temanya dipindahkan ke Pasar II Baturetno, pasar baru yang terletak tidak jauh dari Pasar Bung Karno.
Potongan Besi
Dalam bekerja, Mbah Tumidi dibantu seorang asisten, yang bertugas mengubub dan meladeni kebutuhan mereka.
Bahan baku untuk membuat peralatan tersebut menggunakan potongan-potongan besi, per atau pegas mobil bekas, maupun pelat baja yang dibeli dari kota setempat, dan Solo.
Alat yang dia digunakan untuk memande masih sangat sederhana. Sebagian besar peralatan terkesan kuno, antik, berupa ububan yang dibuat dari sepasang kayu berlubang dilengkapi dengan alat pemompa, besi landasan, kolam air untuk menyepuh, aneka pemukul, japit, pacal, kikir, ditambah gerinda besi.
Sedangkan bahan bakar untuk membakar besi, menggunakan arang kayu melanding dan akasia.

Awal musim penghujan seperti saat ini, banyak petani yang mendatangi tempat kerja Mbah Tumidi, untuk memepehkan (mempertajam) alat-alat pertanian dan sejenisnya.
Dalam sehari, Mbah Tumidi mampu merampungkan puluhan alat pertanian dan peralatan dapur.
Dalam satu bulan, dia mampu mengantongi uang sebesar 4-5 juta rupiah.
Kebanyakan para pelanggan berasal dari kalangan petani lokal dan dari daerah lain, seperti Giriwoyo, Giritontro, Batuwarno, Tirtomoyo, dan Nguntoronadi.
Ketika inspirasiline.com menyambangi tempat kerja Mbah Tumidi di Pasar II Baturetno, dia sedang berada di depan tungku bara api bersama pembantunya, menggembleng cangkul.
Sederhana
Tempat kerjanya terkesan sederhana. Sesekali terdengar bunyi martil menghantam lempengan besi, diselingi gemuruh nyala api dari mulut ububan warna merah membara, dibarengi letupan bunga api, membuat bising gendang telinga.
Di kursi tua, duduk beberapa orang antre menunggu garapan Mbah Tumidi.

Menurut penuturan Mbah Tumidi, dia menggeluti pande besi sedari bocah, kira-kira usia 14 tahun. Diawali dengan berlatih ngubub, kemudian berlatih mande, dan menyepuh besi.
“Sekarang usia saya sudah 85 tahun, Mas. Saya menjadi pande sejak zaman Belanda, zaman Jepang, sampai sekarang. Di depan bara api inilah saya mendapat rezeki. Anak-anak saya hampir semua menjadi pande besi,” tuturnya kepada inspirasiline.com, sembari membetulkan capil yang menutupi kepalanya.
Sekilas, Mbah Tumidi sosok yang nyantai, periang, mudah diajak bicara, murah senyum, serta humoris.***