Re(fulus)i

NGASO

Oleh Dwi NR

MENDADAK pikiran Usman melayang entah ke mana. Pandemi Covid-19 yang seolah tak berujung ini, baginya telah mengubah kehidupannya menjadi agak berantakan. Kalau tak mau disebut morat-marit.

Tatanan new normal, bagi Usman tak menjadikannya bisa kembali menjadi normal yang sesungguhnya. Sopir trailer angkutan alat berat ini justru merasa hidupnya berubah menjadi abnormal di masa kelaziman baru ini. Terlebih setelah beberapa waktu lalu dia harus mengikhlaskan diri menerima musibah, alat berat bighoe raksasa yang diangkutnya terjun bebas di sebuah jurang di zona zigzag rawan kecelakaan di daerah Pageruyung, tak jauh dari Goa Bunda Maria Ratu, Weleri-Sukorejo, Kabupaten Kendal.

Kesehatan tak lagi menjadi perhatian utamanya. Seperti fokus pemerintah saat ini, yang cenderung lebih terkonsentrasi untuk pemulihan sektor ekonomi pascapandemi. Tapi apa yang bisa di-eguh-eguh otaknya yang, beruntungnya, sempat mengenyam pendidikan SMA.

“Yangkung, ayo ndang mulih. Wis bengi lho iki,” ujar Maknero, istri Usman dengan panggilan sayang ala cucunya.

Tentu saja ajakan itu terasa mendadak dan menggeriapkan Usman yang beberapa mengawangkan segenap pikiraannya. Mungkin melamun. Mungkin juga sedang sibuk memikirkan nasibnya yang tak menentu sejak kehadiran Corona.

“Yangkung! Ayoo…”

“Iyo, ayo. Kene ndang mbonceng,” sahut Usman sambil men-start motor matic butut jatah inventaris dari juragannya, Bos Mansur.

Perjalanan malam itu semestinya bisa mewujud romantisme bagi pasangan yang tak lagi muda itu. Tapi, dekapan erat Maknero lebih bermakna kekhawatiran. Selain terpaan hawa dingin, juga lantaran jarak tempuh yang lumayan jauh sebelum mereka sampai ke rumah.

Setelah hampir satu jam memboncengkan pasangan hidup setianya itu, kaki Usman baru bisa menginjak tanah. Motor berhenti pas di depan pintu rumah. Jarum jam dinding menunjukkan angka 11.23. Hampir tengah malam. Sang istri langsung turun dan bergegas masuk.

Melongok ke pos kamling di seberang jalan kampung depan rumahnya, Usman mendapati dua sahabat setianya, Kang Kucrit dan Lek No. Mereka tampak asyik nonton Tukul Arwana One Man Show, sehingga ora nggalbo kehadiran Usman.

“Weh, kok podo asyik temen, sampe lali kabehane,” celetuk Usman yang langsung membuat Kang Kucrit dan Lek No serempak menengokkan wajahnya.

“Hee… lha iki. Piye kabare, Lek Us?” ucap Kang Kucrit.

“Biasa, sayah.”

“Sayah piye, Lek Us. Kok tumben-tumbenan,” timpal Lek No.

“Sepi, sepi, dan sepi. Gawean sepi. Fulus sepi. Rokok yo melu sepi,” jawab Usman, seakan menyinggung tentang kehadirannya yang baru kali ini tanpa meletakkan rokok kretek premium legendaris kesayangannya di pos kamling. Dan baru kali ini pula, dia semakin merasa sedih karena tidak bisa berbagi kesenangan bersama dua sahabatnya itu.

“Tenang, Lek Us, awake dewe kudu melakukan refulusi. Refulusi industri 4.0 sing jare kudu serba online, serba digital, dan serba cepat,” cetus Kang Kucrit.

“Hahaha… opo?! Refulusi? Maksudmu opo? Revolusi fulus, duwit?” sergah Usman terkekeh.

“Halah, mbuh. Pokoke kuwi. Maksudku, daripada sampeyan ngoyoworo mikir gawean sing sepi, sepi, sepi kuwi mau… mending sampeyan nyaranke Bos Mansur, juraganmu kuwi nggawe website kanggo perusahaane. Dadi pemasarane nganggo sistem online. Dadi sing mbutuhke jasa angkutan juraganmu kuwi iso teko ngendi-endi, sak ndunyo. Kuwi salah sijine sing tak maksud refulusi opo revolusi industri papat poin nol kuwi.”

Usman tersenyum. Membisu. Tapi dalam hatinya, diam-diam dia membenarkan dan mengakui kecerdasan Kang Kucrit yang dijabarkan dalam bahasa awam nan panjang lebar itu.***

Bagikan ke:

1 thought on “Re(fulus)i

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *