Penulis: Mutabingun
Editor: Dwi NR
Sadranan biasa dihelat pada Bulan Syakban (Ruwah) dan Ramadan (Poso). Tapi, pasti ada alasan tersendiri jika ternyata warga Desa Tlogopucang, Kecamatan Kandangan, Temanggung tetap Nyadran di Bulan Suro. Apa keunikan dan keistimewaannya?
SELEPAS tuntaskan amalan puasa sunah Tasua (9 Muharram) dan Asyura (10 Muharram), masyarakat Desa Tlogopucang, Kecamatan Kandangan, Kabupaten Temanggung menggelar Sadranan pada 11 Muharram (Suro), Minggu (30/8/2020). Tradisi dimulai pagi hari sekira pukul 09.00 hingga selesai.
Lazimnya, Sadranan dihelat pada Bulan Syakban (Ruwah) untuk mendoakan leluhur, atau saat bersih-bersih makam menyambut datangnya Bulan Suci Ramadan (Poso).
Namun, masyarakat Desa Tlogopucang menggelar tradisi ini dengan cara dan waktu yang berbeda. Mereka Nyadran bukan sebatas pada dua bulan itu, melainkan juga tetap menghelatnya pada Bulan Muharram (Suro).
“Jadi kami melaksanakan Sadranan dua kali dalam satu tahun,” ungkap Mujazin (35), anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Tlogopucang.
Selain untuk menyambut Tahun Baru Hijriyah atau merayakan Lebaran Suro, setelah melaksanakan puasa sunah Tasua dan Asyura, Sadranan di Tlogopuvang ini ternyata juga bernilai sejarah.
Simbah Kiai Kramat
Acara Sadranan dihelat di Makam Simbah Kiai Kramat, yang terletak di sebuah perbukitan desa, tepatnya di Dusun Tlogopucang Utara, Desa Tlogopucang. Konon, Simbah Kiai Kramat adalah seorang ulama yang sangat dihormati. Berkat doa dan karomahnya, Desa Tlogopucang sama sekali tak terjamah penjajah pada masa itu.
Sebagai wujud syukur atas kebesaran Allah itu, Simbah Kiai Kramat mewasiatkan kepada seluruh masyarakat agar mengadakan doa bersama setiap Bulan Muharram, tepatnya pada 11 Muharram, yaitu setelah puasa sunah Tasua dan Asyura (9-10 Muharram).
Sebelum prosesi dimulai, pada malam sebelumnya, masyarakat Tlogopucang terlebih dulu menggelar istighotsah bersama di Makam Simbah Kyai Kramat.
Baru pada keesokan harinya, mereka berbondong-bondong mendatangi Makam Simbah Kyai Kramat, dengan membawa nasi tumpeng dan tenong (tempat makanan dari anyaman bambu berbentuk bundar) berisi ingkung (ayam kampung yang dimasak utuh), serta aneka makanan, minuman, dan buah-buahan.
Rangkaian tradisi Sadranan yang digelar Ahad, 11 Muharram (30/6/2020) ini diawali dengan sambutan Kepala Desa Tlogopucang Tohirin, dilanjutkan pembacaan tahlil beserta doa yang dipimpin Kiai Abdul Jalil, dan dipungkasi dengan acara makan bersama atau kenduri.
Tohirin berharap, melalui Sadranan ini menjadikan masyarakat Desa Tlogopucang lebih mengenal satu sama lain, dan selalu menjunjung tinggi nilai tradisi warisan nenek moyang.
“Selain untuk berdoa memohon perlindungan dan keselamatan kepada Allah, Sadranan juga dimaksudkan sebagai ajang silaturahim antarwarga, demi keterjalinan ukhuwah islamiyah, khususnya masyarakat Desa Tlogopucang,” terangnya.***
Spot on with this write-up, I really assume this web site wants way more consideration. I’ll most likely be again to learn rather more, thanks for that info.