Penulis: Arwani & S Pani
Editor: Dwi NR
Bagi masyarakat Jawa, Suro (Muharram) identik dengan bulan sakral. Bulan yang tepat untuk melakukan jamasan, ritual memandikan atau menyucikan keris pusaka. Bagaimana tata cara ritual penjamasan itu?
DI daerah tertentu, jamasan pusaka tidak harus di Bulan Suro. Semisal di Demak, yang biasa menggelar jamasan di Bulan Besar (Zulhijjah). Sedangkan di Cirebon, Jawa Barat, jamasan pusaka dilaksanakan pada Bulan Maulud. Di masyarakat Cirebon, juga Indramayu, Majalengka, dan Kuningan, jamasan disebut Ritual Panjang Jimat.
Terlepas dari sebutan atau istilah yang berbeda-beda di tiap daerah, untuk melakukan ritual jamasan tidak boleh asal-asalan. Setidaknya, sebelum melakukan ritual ini, harus dipersiapkan bahan-bahan, di antaranya aie kelapa, jeruk nipi, batu warangan, sabun, air, dupa, serta bunga tujuh rupa. Tak boleh dilupakan, minyak jamasan pusaka.
Air kelapa berguna untuk merendam sekaligus menghilangkan karat/korosi yang menempel pada bilah keris; jeruk nipis, yaitu air perasan jeruk nipis berguna untuk memutihkan bilah keris; batu warangan berguna untuk mengontraskan warna bilah keris; dan sabun, atau di zaman dulu memakai lerak, untuk proses ngeprok dicampur dengan air jeruk nipis.
Sementara minyak jamasan pusaka, berguna untuk melindungi bilah keris dari timbulnya karat, sehingga keutuhan besi bilah keris terjaga dan awet. Adapun air, dupa, dan bunga tujuh rupa adalah syarat pelengkap ritual yang tak boleh tertinggal.
Tata cara pelaksanaan pewarangan dan penjamasan keris pusaka diawali dengan ritual khusus. Karena kita manusia biasa ciptaan Tuhan, jadi sebelum langkah pewarangan dan penjamasan diharuskan berdoa memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa, agar proses pewarangan dan penjamasan berjalan dengan lancar tanpa halangan apa pun.
Tentu, semua itu harus tetap mengharap berkah dan manfaat dari Tuhan Yang Mahakuasa. Di balik kejadian atau kegiatan proses pewarangan dan penjamasan keris pusaka, pada hakikatnya memiliki arti dan filosofi yang mendalam bagi kehidupan manusia sehari-hari. Ibarat manusia kembali lagi ke kondisi bersih dari dosa dan taubat yang sesungguhnya. Bersih pikiran, juga hati.
Merendam Keris
Setelah semua ritual spiritual itu, dilanjut dengan merendam keris pusaka ke dalam air kelapa sampai terlihat karat/korosi terlepas dari bilah keris. Langkah perendaman dilakukan jika kondisi bilah keris berkarat. Sebaliknya, jika kondisi bilah keris bersih, tidak berkarat, bisa langsung dilakukan dengan proses mutih, yaitu memutihkan bilah keris hingga bilah terlihat putih bersih dari sisa sisa minyak. Juga bersih dari sisa warangan lama yang menempel.
Usai proses mutih, dilanjut proses pewarangan, yaitu merendam bilah keris ke dalam cairan warangan (air jeruk nipis yang sudah dicampur dengan batu warangan). Durasi kurang lebih satu jam.
Selepas pewarangan, proses berikutnya ngeprok, yaitu membersihkan bilah keris dari cairan warangan, sehingga bilah keris terlihat kontras, yaitu munculnya perbedaan warna antara material baja (slorog) yang cenderung kelabu, material besi wasuhan (saton) yang cenderung hitam, dan material meteor (pamor) yang cenderung putih.
Di tahap ini, akan tampak perbedaan warna bilah keris yang memiliki nilai seni nan indah menyemburat.
Jika proses perendaman mutih pewarangan selesai, proses terakhir penjamasan adalah menyirami bilah keris dengan air bunga tujuh rupa, dibarengi dengan pembakaran dupa. Setelah dikeringkan, langkah berikutnya adalah meminyaki bilah keris pusaka. Sampai di sini, selesailah proses pewarangan dan penjamasan keris pusaka.
Buatan Empu
Keris pusaka dibuat oleh empu, ahli seni tempa besi dan metalurgi, yang dibarengi dengan tirakat: puasa ataupun doa-doa khusus agar Tuhan menurunkan daya ilahiyah yang diniatkan masuk ke dalam keris pusaka, sehingga bermanfaat sebagai perantara atau wasilah bagi pemiliknya.
Menurut keyakinan mistis yang terjadi di masyarakat Jawa, jika keris pusaka tidak dirawat, bisa menimbulkan efek-efek samping di luar nalar manusia. Tapi jika dilihat secara logis, pada intinya keris pusaka adalah benda buatan manusia, dengan keahlian khusus dan memiliki nilai seni tinggi, warisan leluhur pada zaman kerajaan.
Yang jelas, apapun yang terjadi di dunia, semua atas kehendak Tuhan Yang Mahakuasa.***
Berita yang bermanfaat serta edukasi seni budaya jawa